Sabtu, 03 Oktober 2020

𝗜𝗦𝗔𝗕𝗘𝗟𝗟𝗔 𝗚𝗨𝗭𝗠𝗔𝗡, 𝗦𝗜 𝗖𝗔𝗡𝗧𝗜𝗞 𝗣𝗘𝗠𝗕𝗨𝗡𝗨𝗛 𝗜𝗕𝗨 𝗞𝗔𝗡𝗗𝗨𝗡𝗚


Kejadian yang terjadi 7 tahun silam tepatnya pada Agustus 2013 di Colorado, Amerika Serikat ini sempat menggegerkan media sosial beberapa waktu lalu. Pasalnya Isabella yang saat itu berusia 18 tahun masih bisa tersenyum di pengadilan setelah tragedi penusukan terhadap ibu kandungnya sebanyak 151 kali. Tapi tidak hanya tampak sumringah, sesekali Isabella juga terlihat bersedih saat hakim menyebut nama ibunya. Jelas terlihat ketidakseimbangan mental yang membuat Isabella divonis tidak bersalah karena menderita 𝙎𝙘𝙝𝙞𝙯𝙤𝙥𝙝𝙧𝙚𝙣𝙞𝙖 𝙋𝙖𝙧𝙖𝙣𝙤𝙞𝙙 (bisa googling sendiri ya buat penjelasannya). 


Berdasarkan dari artikel-artikel yang aku baca (dalam & luar negeri), Isabella ini merupakan korban perceraian orang tuanya. Orang tua Isabella bercerai saat dia berumur 5 tahun. Isabella yang kemudian ikut ibunya (yang menikah lagi setelah bercerai) sering terlihat murung dan melawan ibunya. Dia merasa seharusnya ibunya lebih fokus merawatnya bukannya malah menikah lagi. Sejak saat itu Isabella menjadi nakal, pembangkang, dan sering berselisih paham dengan ibunya. 


Saat Isabella berumur 7 tahun, ibunya menelpon ayah kandung Isabella untuk memberitahukan bahwa ia sudah tidak sanggup mengasuh Isabella yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Ayah Isabella hanya mengiya-iyakan saja tanpa mengambil sikap apapun. 


Perselisihan antara Isabella dan ibunya berlanjut hingga Isabella berumur 18 tahun. Bahkan sehari sebelum kejadian penikaman itu terjadi, Isabella sempat mengirim email kepada ibunya dengan isi "𝒀𝒐𝒖 𝑾𝒊𝒍𝒍 𝑷𝒂𝒚 𝑰𝒕-(𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘺𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢)". Sang ibu yang ketakutan dengan teror dari anaknya kemudian menghubungi 911 untuk melaporkan anaknya. Isabella tampak ketakutan setelah di interogasi oleh polisi. Tapi polisi tidak menangani lebih lanjut karena beranggapan itu hanya masalah keluarga. 


**


Dari kasus Isabella kita bisa belajar untuk tidak menyepelekan kesehatan mental anak, dalam hal ini anak-anak yang berangkat dari keluarga broken home. Memang tidak ada yang salah dengan perceraian, at least itu lebih baik daripada harus menjalani hubungan yang toxic. Tapi anak akan menjadi satu-satunya pihak yang paling terluka akibat perceraian orang tuanya. Sekalipun luka itu teratasi, tapi akan ada kekosongan peran yang mereka rasakan.


Setelah bercerai orang tua cenderung lebih mudah untuk menata hidup kembali, tapi tidak dengan anak-anak. Anak-anak tidak memiliki kontrol sebaik orang dewasa. Mereka melihat perceraian sebagai hancurnya keluarga yang mereka miliki. Mereka kehilangan keluarga yang seharusnya menjadi sumber perlindungan. 


Untuk yang telah atau yang sedang berada dalam proses perceraian, jangan remehkan perasaan anak, daripada hanya saling menyalahkan mantan pasangan untuk pembenaran diri, bukankah lebih baik saling mendukung untuk membantu anak menyembuhkan luka hatinya? Toh anak-anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Please, jangan ciptakan Isabella Isabella lainnya.