Jumat, 18 September 2015

PREMAN + KORUPTOR = TUKANG PARKIR


Malam tadi, saya sangat kesal sekali dengan seorang tukang parkir  yang “bertugas” di depan Indomaret samping BRI Seutui, Banda Aceh. Pasalnya, setiap kali saya akan mengambil uang di ATM BRI, suami saya selalu menunggui diatas sepeda motor dihalaman ruko samping BRI tersebut. Dan hanya saya yang masuk ke ATM (ya iyalah, ngapain juga masuk ke atm sekampung, emang gw ambil uang milyaran). Dan tadi malam adalah puncak kekesalannya karena kami tidak pernah memarkirkan sepeda motor kami.
Setengah membentak dia berkata agar lain kali sepeda motor diparkir di atm (biar die dibayar, gitu maksudnya). Langsung saya jawab, kalaupun saya parkir di halaman depan atm atau di indomaret, saya tetap tidak akan bayar. Sejak kapan parkir di halaman pertokoan harus bayar?? Bukannya halaman pertokoan termasuk properti toko. Dan sudah jelas-jelas disetiap indomaret  terpampang pamflet “Parkir Gratis”. Lantas saya bertanya, punya karcis bang? Dan dia mengeluarkan beberapa lembaran karcis parkir untuk mobil yang berserakan. Saya membatin “ini karcis bekas, biasanya karcis parkir selalu berbentuk bundelan/buku kecil yang akan disobek setengah untuk pengguna parkir dan setengah untuk  tukang parkir”. Ini pemerasan!. Bukannya saya perhitungan, sebenarnya saya lebih bermurah hati untuk memberikan uang lebih kepada tukang parkir daripada pengemis “siluman”. Tapi kali ini saya benar-benar geram dibuatnya.
Berbicara tentang qanun “perpakiran”", parkir hanya boleh dikutip untuk kendaraan yang diparkir ditepi jalan raya, dan tertera pada papan-papan tarif retribusi tempat parkir resmi dengan karcis parkis resmi. Tapi masalahnya, banyak sekali tempat parkir yang tidak resmi (yang tidak menyetorkan sebagian pendapatannya ke pemerintah daerah), oleh tukang parkir “unauthorized” (yang tiba-tiba dan baru muncul ketika memungut uang jasa) dengan karcis yang tidak resmi, karcis buatan sendiri, atau tanpa karcis sama sekali. Parkir dihalaman toko tidak lebih 3 menit dan ditunggui pemilik kendaraan , apakah masih bisa mereka disebut berjasa mengamankan?.
Bolehlah ada argumen bahwa keberadaan tukang parkir itu mengurangi pengangguran, meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka, tetapi apa tidak disadari bahwa cara itu sebenarnya juga menyengsarakan taraf ekonomi sesama. Pungli parkir menjadi beban berat bagi mahasiswa miskin yang karena tugas akademiknya harus bolak balik fotocopy, atau pedagang kecil yang harus berkali-kali belanja kebutuhan-kebutuhan kecil. Pungli parkir ini telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Mestinya korupsi seharusnya dimaknai bukan hanya sebagai kegiatan yang menimbulkan kerugian negara sebagai definisi formal selama ini. Pungli parkir juga termasuk salah satunya.  Korupsi melalui pungli ditempat-tempat parkir tak kalah oleh pungli yang dilakukan oleh pejabat pemerintah atau pejabat politik di sarang-sarang korupsi. Meski hanya dengan skala dan nominal yang kecil, pungli oleh “rakyat kecil” ini sama menyengsarakannya seperti koruptor kelas kakap.
Mari kita memperbaiki hal-hal kecil, dari lingkungan kecil, untuk mencapai hasil dengan skala yang besar.