Malam tadi, saya sangat kesal sekali
dengan seorang tukang parkir yang “bertugas” di depan Indomaret samping
BRI Seutui, Banda Aceh. Pasalnya, setiap kali saya akan mengambil uang
di ATM BRI, suami saya selalu menunggui diatas sepeda motor dihalaman
ruko samping BRI tersebut. Dan hanya saya yang masuk ke ATM (ya iyalah,
ngapain juga masuk ke atm sekampung, emang gw ambil uang milyaran). Dan
tadi malam adalah puncak kekesalannya karena kami tidak pernah
memarkirkan sepeda motor kami.
Setengah membentak dia berkata agar lain
kali sepeda motor diparkir di atm (biar die dibayar, gitu maksudnya).
Langsung saya jawab, kalaupun saya parkir di halaman depan atm atau di
indomaret, saya tetap tidak akan bayar. Sejak kapan parkir di halaman
pertokoan harus bayar?? Bukannya halaman pertokoan termasuk properti
toko. Dan sudah jelas-jelas disetiap indomaret terpampang pamflet
“Parkir Gratis”. Lantas saya bertanya, punya karcis bang? Dan dia
mengeluarkan beberapa lembaran karcis parkir untuk mobil yang
berserakan. Saya membatin “ini karcis bekas, biasanya karcis parkir
selalu berbentuk bundelan/buku kecil yang akan disobek setengah untuk
pengguna parkir dan setengah untuk tukang parkir”. Ini pemerasan!.
Bukannya saya perhitungan, sebenarnya saya lebih bermurah hati untuk
memberikan uang lebih kepada tukang parkir daripada pengemis “siluman”.
Tapi kali ini saya benar-benar geram dibuatnya.
Berbicara tentang qanun “perpakiran”",
parkir hanya boleh dikutip untuk kendaraan yang diparkir ditepi jalan
raya, dan tertera pada papan-papan tarif retribusi tempat parkir resmi
dengan karcis parkis resmi. Tapi masalahnya, banyak sekali tempat parkir
yang tidak resmi (yang tidak menyetorkan sebagian pendapatannya ke
pemerintah daerah), oleh tukang parkir “unauthorized” (yang tiba-tiba
dan baru muncul ketika memungut uang jasa) dengan karcis yang tidak
resmi, karcis buatan sendiri, atau tanpa karcis sama sekali. Parkir
dihalaman toko tidak lebih 3 menit dan ditunggui pemilik kendaraan ,
apakah masih bisa mereka disebut berjasa mengamankan?.
Bolehlah ada argumen bahwa keberadaan
tukang parkir itu mengurangi pengangguran, meningkatkan taraf ekonomi
keluarga mereka, tetapi apa tidak disadari bahwa cara itu sebenarnya
juga menyengsarakan taraf ekonomi sesama. Pungli parkir menjadi beban
berat bagi mahasiswa miskin yang karena tugas akademiknya harus bolak
balik fotocopy, atau pedagang kecil yang harus berkali-kali belanja
kebutuhan-kebutuhan kecil. Pungli parkir ini telah menyebabkan ekonomi
biaya tinggi. Mestinya korupsi seharusnya dimaknai bukan hanya sebagai
kegiatan yang menimbulkan kerugian negara sebagai definisi formal selama
ini. Pungli parkir juga termasuk salah satunya. Korupsi melalui pungli
ditempat-tempat parkir tak kalah oleh pungli yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah atau pejabat politik di sarang-sarang korupsi. Meski
hanya dengan skala dan nominal yang kecil, pungli oleh “rakyat kecil”
ini sama menyengsarakannya seperti koruptor kelas kakap.
Mari kita memperbaiki hal-hal kecil, dari lingkungan kecil, untuk mencapai hasil dengan skala yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar